Hak Asasi Manusia sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dikenal oleh masyarakat Indonesia, tercatat pada proses perumusan UUD 1945 di BPUPKI, Muhammad Hatta, Moh. Yamin, dan Liem Koen Hian adalah para pendiri negara yang secara konsisten berupaya memasukkan klausula tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945.
Pada sidang BPUPKI Hatta membela masuknya ketentuan Hak Asasi Manusia dalam konstitusi pertama Republik ini dengan menyatakan “Paduka Tuan Ketua, sidang yang terhormat! Pokok-pokok yang dikemukakan oleh Syusa Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar setuju. Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi satu hal yang saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-Undang Dasar yang mengenai hak untuk mengeluarkan suara, yaitu bahwa nanti di atas Undang-Undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang kita tidak setujui….Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan.” Di bagian lain Hatta melanjutkan pidatonya “Tetapi satu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-Undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada kedaulatan rakyat”
Pandangan Hatta ini didukung pula oleh Moh. Yamin yang menyampaikan pandangannya “Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar.”. Kedua pendapat dari kedua peletak dasar hak asasi manusia dalam negara Indonesia juga didukung kuat oleh Liem Koen Hian, anggota BPUPKI, yang menekankan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).
Atas perjuangan ketiga orang ini, UUD 1945 memasukkan beberapa ketentuan mengenai Hak – Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 27 ayat (1), dan ayat (2) Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 34.
Ketika selesainya perang kemerdekaan dan Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat, maka UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi RIS pada 31 Januari 1950. Konstitusi RIS ini malah memuat secara lebih lengkap jaminan perlindungan hak asasi manusia setidaknya dapat ditemukan pada Bagian 5 dan Bagian 6 Konstitusi RIS.
Umur Republik Indonesia Serikat inipun tidak lama, dan kemudian Indonesia berubah kembali menjadi negara kesatuan dan menggunakan UUDS 1950 pada 15 Agustus 1950. UUDS 1950 dianggap oleh sebagian orang sebagai salah satu konstitusi terbaik yang mengatur perlindungan hak asasi manusia secara lebih lengkap dan maju pada jaman tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar